Halaman

Senin, 28 Februari 2011

EJAAN BAHASA INDONESIA

            Ejaan adalah aturan-aturan mengenai cara melambangkan bunyi bahasa dengan huruf. Kita mengetahui adanya bahasa tulis. Agar bahasa yang kita tuliskan itu dapat dengan mudah ditangkap maksudnya, kita perlu mengetahui cara-cara penulisannya, itulah kita kenal dengan ejaan.
            Bahasa Indonesia telah mengalami tiga kali perubahan ejaan. Ejaan yang pernah kita gunakan itu adalah sebagai berikut :
1.    Ejaan Van Ophuysen
2.    Ejaan Suwandi atau Ejaan Republik
3.    Ejaan yang disempurnakan(EYD).
Ejaan Van Ophuysen merupakan ejaan hasil pemikiran Ch.A.Van
Ophuysen, orang Belanda. Ejaan ini berlaku sejak tahun 1901 sampai dengan bulan maret 1947. Ejaan ini dituliskan pada buku kitab Logat Melayu.
Di antara huruf-huruf sebagai berikut:
  1. Huruf oe untuk bunyi /u/.contoh oentoeng
  2. Tanda (’) atau hamzah untuk bunyi /k/.bapa’
  3. Huruf dj untuk bunyi /j/. Djedja
  4. Huruf tj untuk bunyi /c/.tjipta
  5. Huruf j untuk bunyi /y/.jakin
Ejaan Suwandi merupakan penyederhanaan terhadap Ejaan Van Ophuysen .
Pada tahu 1947 yang menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K) adalah Mr.Suwandi yang dikenal dengan ejaan Suwandi.
  1. Huruf oe diganti dengan u.oentoeng  menjadi Untung
  2. Tanda (’) atau hamzah diganti dengan k.bapak diganti bapak
Ejaan yang disempurnakan adalah ejaan baru yang merupakan hasil penyempurnaan dari ejaan Suwandi. Ejaan ini diresmikan pemakaiaannya
pada tanggal 16 agustus 1972 berdasarkan Keputusan Presiden No.57 tahun
1972.
            Ejaan yang disempurnakan adalah ejaan yang baru yang merupakan hasil penyempurnaan dari Ejaan Suwandi. Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 berdasarkan keputusan presiden  No.57 tahun 1972.
Tujuan pembentukan Ejaan yang Disempurnakan yaitu :
  1. Menyesuaikan ejaan bahasa Indonesia dengan perkembangan bahasa Indonenia.
  2. Membina ketertiban dalam penulisan dalam penulisan huruf dan tanda baca.
  3. Memulai usaha pembakuan bahasa Indonesia secara menyeluruh dan
  4. Mendorong pengembangan bahasa Indonesia.


ISTILAH BAHASA INDONESIA


            Istilah ialah kata atau gabungan kata yang dengan cermat

Mengungkapkan konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang
tertentu.
            Tata istilah ialah perangkat peraturan pembentukan istilah dan kumpulan istilah yang dihasilkannya. Tata nama istilah ialah perangkat peraturan penanaman beberapa cabang ilmu, seperti kimia dan biologi beserta kumpulan nama yang dihasilkannya.
            Istilah khusus dan istilah yang pemakaiannya dan/atau maknanya terbatas pada suatu bidang tertentu, sedangkan istilah umum ialah yang menjadi unsur bahasa yang digunakan secara umum.
            Kata dasar peristilahan ialah bentuk bahasa yang dipakai sebagai istilah dengan tidak mengalami penurunan bentuk, atau yang dipakai sebagai alas istilah yang terbentuk turunan.
            Imbuhan peristilahan ialah bentuk yang ditambahkan pada bentuk dasar sehingga menghasilkan bentuk turunan yang dipakai sebagai istilah. Imbuhan berupa awalan, akhiran, dan sisipan atau gabungannya.
            Kata berimbuhan peeristilahan ialah istilah (berbentuk turunan) yang terdiri atas kata dasar da imbuhan.
            Kata ulang peristilahan  ialah istilah yang berupa ulangan kata dasar seutuhnya  atau sebagianny, dengan atau tanpa pengimbuhan dan perubahan bunyi.
            Gabungan kata peristilahan ialah istilah yang terbentuk dari beberapa kata.
            Perangkat kata peristilahan ialah kumpulan istilah yang dijabarkan dari bentuk yag sama, baik dengan proses penambahan, pengurangan, maupun dengan proses penurunan kata.
PEMBAKUAN BAHASA
            Dengan latar belakang acuan kediglosian, masalah pembakuan bahasa Indonesia memperoleh dimensi tambahan yang hingga kini tidak sering dipersoalkan, atau yang memang dianggap tidak perlu diperhitungkan bagi keberhasilan usaha pembakuan  itu. Hal yang sehubungan dengan itu perlu di bahas, misalnya, ialah norma bahasa yang  mana yang berlaku untuk bahasa Indonesia baku dan golongan penutur mana yang dapat dijadikan patokan bagi norma itu. Selanjutnya dapat dipersoalkan apakah bahasa Indonesia baku kelak harus  menjalankan  segala jenis  fungsi kemasyarakatan.
            Sebagaimana yang diutarakan di atas, di dalam situasi diaglosa ada tradisi  keilmuan ang memilih  ragam pokok  yang tinggi sebagai dasar  usaha pembakuan. Di Indonesia  pun hal itu terjadi, bahkan dapat dikatakan bahwa ada kecenderungan untuk mendasarkan penyusunan tata bahasa itu pada ragam tinggi bahasa tulisan. Jika dulu ada anggapan bahwa norma bahasa baku didasarkan pada ragam tinggi Melayu-Riau, Perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini menunjukkan bahwa pemilihan norma itu tidak monosentris lagi. Sambil merunut sejarah pemengaruhan kepustakaan Balai Pustaka, yang redakturnya banyak yang berbahasa ibu Minangkabau, bahasa pers dan bahasa persuratan kepegawaian sebelum perang, serta bahasa Media Massa dewasa ini yang didukung oleh penutur yang bermacam-macam bahasa ibunya, maka dapat dikatakan bahwa dasar penentuan norma bahasa Indonesia sudah majemuk sifatnya.
            Patokan yang bersifat tunggal (salah satu dialek) dan patokan yang majemuk (gabungan beberapa dialek) tidak perlu bertentangan. Namun, pada saat norma itu dikodofikasi dan dimekarkan oleh penuturnya, dasarnya itu boleh dikatakan tidak dapat dikenali lagi asalnya. Secara tentatif dapat dikemukakan pendapat bahwa dewasa ini ada dua perangkat norma bahasa yang bertumpang tindih. Yang satu berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk baku tata bahasa sekolah  dan diajarkan kepada para siswanya. Yang lain ialah norma berdasarkan adat pemakaian (usage) yang belum dikodifikasi secara resmi dan yang antara lain dianut oleh kalangan media massa dan sastrawan mudah. Keduanya bertumpang tindih  karena disamping berbagai inti bersama ada norma yang berlaku di sekolah, tetapi yang tidak diikuti oleh media dan sebaliknya.  

SIKAP BAHASA

            Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu pada bentuk

tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak gerik dan perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian . Sesungguhnya, sikap itu adalah fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Namun, menurut banyak penelitian tidak selalu yang dilakukan secara lahiriah meupakan cereminan dari sikap batiniah. Atau yang terdapat dalam batin selalu keluar dalam bentuk perilaku yang sama ada dalam batin. Banyak faktor yang mempengaruhi hubungan sikap batin dan perilaku lahir. Oleh karena yang namanya sikap ini yang berupa pendirian (pendapat atau pandangan) berada dalam batin, maka tidak dapat diamati secara empiris. Namun, menurut kebiasaan, jika idak ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi, sikap yang ada dalam batin itu dapat diduga dari tindakan dan perilaku lahir.
            Anderson (1974:37) membagi sikap atas dua macam, yaitu :
  1. Sikap kebahasaan
  2. Sikap non kebahasaan, seperti sikap politik, sikap sosial, sikap estetis, sikap keagamaan. Kedua jenis ini (kebahasaan dan non kebahasaan).
Maka dengan demikian, menurut Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai Bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Namun, perlu diperhatikan karena sikap itu bisa positif (kalau dinilai baik atau disukai) dan bisa negatif(kalau dinilai tidak baik atau tidak disukai), maka sikap terhadap bahasa pu demikian. Umpamanya, sampai akhir tahun lima puluhan masih banyak golongan intelektual di Indonesia yang masih bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia di samping mereka yang sangat bersikap positif.
            Sedangkan menurut Garvin dan Mathiot (1968) telah menunjukkan kenyataan terhadap bahasa Indonesia dewasa ini. Ketiga ciri sikap bahasa yang dikemukakan itu adalah:
  1. Kesetiaan bahasa(language loyalty) yang mendorong masyrakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya.
  2. Kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang yang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat:
  3. Kesadaran adanya norma bahasa(awareness of the norm ) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat.

Ketiga ciri yang dikemukakan Garvi dan Mathiot di atas merupakan ciri-ciri

sikap positif bahasa.


Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, dan Bahasa Asing

            Indonesia adalah negara yang wilayahnya sangat luas dengan penduduk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, dengan berbagai bahasa daerah, serta berbagai latar belakang budaya yang tidak sama.
            Keadaan kebahasaan di Indonesia kini, pertama, ditandai dengan adanya sebuah bahasa nasional yang sekaligus juga menjadi bahasa negara, yaitu bahasa Indonesia;kedua, adanya ratusan bahasa daerah seperti yang di sebutkan di atas;dan ketiga, adanya sejumlah bahasa asing, yang digunakan atau diajarkan di dalam pendidikan formal.
            Status politik, dalam arti kedudukan dan fungsi,ketiga bahasa itu telah dirumuskan dalam seminar politik bahasa nasional yang diadakan di Jakarta bulan Februari tahun 1975. Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Kedudukannya sebagai bahasa nasional dimulai ketika dalam Sumpah Pemuda 20 Oktober 1928, para pendahulu kita menganngkatnya dari bahasa melayu yang sejak abad ke-16 telah menjadi lingua franca di seluruh Nusantara, menjadi bahasa persatuan, yang akan digunakan sebagai alat perjuangan nasional. Kedudukannya sebagai bahasa negara berkenan dengan ditetapkannya di dalam Undang-undang Dasar 1945 Bab XV pasal 36, yang menyatakan bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia.
            Bahasa-bahasa lain yang merupakan bahasa penduduk asli seperti bahasa jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Bugis, dan sebagainya berkedudukan sebagai bahasa daerah. Kedudukan bahasa daerah ini dijamin kehidupan dan kelestariannya seperti dijelaskan pada pasal 36, Bab XV Undang-Undang Dasar 1945.
            Bahasa-bahasa lain yang bukan milik penduduk asli seperti bahasa cina, bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa jerman, dan bahasa Prancis berkedudukan sebagai bahasa Asing. Jadi bahasa-bahasa asing ini merupakan bahasa ketiga di wilayah negara Republik Indonesia.
            Istilah bahasa pertama, bahasa kedua, dan bahasa ketiga biasanya digunakan sebagai istilah dalam urutan-urutan pemerolehan atau penguasaan bahasa. Bahasa yang dimulai dipelajari anak-anak, biasanya dari lingkunga keluarga, di sebut bahasa pertama atau bahasa Ibu. Sebagian besar anak Indonesia memiliki bahasa pertama adakah bahasa daerahnya masing-masing.
            Penggunaan bahasa Indonesia semakin hari semakin meluas, dan jumlah penuturnya bertambah banyak. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan.pertama, karena bahasa Indonesia memiliki status sosial yang tinggi yaitu sebagai bahasa nasinal dan sebagai bahasa resmi kenegaraan. Kedua ,semakin banyak keluarga, terutama di kota-kota besar, yang langsung menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dengan anak-anak mereka.Ketiga, dapat berbahasa Indonesia mempunyai kesempatan sosial yang lebih. Keempat, bahasa Indonesia sering dijadikan alternatif pilihan untuk menghindar dari keharusan berundak usukatau bersorsinggih bila harus menggunakanbahasa daerah.
            Sedangkan bahasa asing yang lain seperti bahasa Prancis, Arab, Jereman, dan Jepang di masukkan dalam kurikulum pendidikan menengah atas, dan juga sebagai mata kuliah bidang studi di perguruan Tinggi.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar